1. Pengertian
dan Fungsi Budaya organisasi
Menurut
Robbins (2003: 305) budaya organisasi merupakan sistem makna bersama yang
dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi
lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan
seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh suatu organisasi. Budaya
organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan mempersepsikan karakteristik
dari suatu budaya organisasi, bukan dengan apakah para karyawan menyukai budaya
atau tidak.
Budaya
organisasi adalah apa yang dipersepsikan karyawan dan cara persepsi itu
menciptakan suatu pola keyakinan, nilai, dan ekspektasi. Schein (1981) dalam
Ivancevich et.al., (2005: 44) mendefinisikan budaya sebagai suatu pola
dari asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok
tertentu saat belajar menghadapi masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal yang telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid, dan oleh karena
itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk
berpersepsi, berpikir dan berperasaan sehubungan dengan masalah yang
dihadapinya.
Definisi
Schein menunjukkan bahwa budaya melibatkan asumsi, adaptasi, persepsi dan
pembelajaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa budaya organisasi memiliki tiga
lapisan, lapisan pertama mencakup artifak dan ciptaan yang tampak nyata tetapi
seringkali tidak dapat diinterpretasikan. Di lapisan kedua terdapat nilai atau
berbagai hal yang penting bagi orang. Nilai merupakan kesadaran, hasrat
afektif, atau keinginan. Pada lapisan ketiga merupakan asumsi dasar yang
diciptakan orang untuk memandu perilaku mereka. Termasuk dalam lapisan ini
adalah asumsi yang mengatakan kepada individu bagaimana berpersepsi, berpikir,
dan berperasaan mengenai pekerjaan, tujuan kinerja, hubungan manusia, dan
kinerja rekan kerja.
Fungsi Budaya Organisasi Robbins (2003: 311) menyatakan bahwa
budaya menjalankan sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu:
a.
Budaya
mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, yang artinya budaya menciptakan
pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.
b.
Budaya
membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c.
Budaya
mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada
kepentingan pribadi seseorang.
d.
Budaya
memantapkan sistem sosial, yang artinya merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan suatu organisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat
untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan.
e.
Budaya
berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
Secara
alami budaya sukar dipahami, tidak berwujud, implisit dan dianggap biasa saja.
Tetapi semua organisasi mengembangkan seperangkat inti pengandaian, pemahaman,
dan aturan implisit yang mengatur perilaku sehari-hari dalam tempat kerja.
Peran budaya dalam mempengaruhi perilaku karyawan semakin penting bagi
organisasi. Dengan dilebarkannya rentang kendali, didatarkannya struktur,
diperkenalkannya tim-tim, dikuranginya formalisasi, dan diberdayakannya
karyawan oleh organisasi, makna bersama yang diberikan oleh suatu budaya yang
kuat memastikan bahwa semua karyawan diarahkan kearah yang sama. Pada akhirnya
budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi.
2. Tipopologi
Budaya Organisasi
Ada
beberapa tipologi budaya organisasi. Kotter dan Heskett (1998) mengkategorisasi
jenis budaya organisasi menjadi tiga yaitu budaya kuat dan budaya lemah; budaya
yang memiliki kecocokan strategik; dan budaya adaptif. Organisasi yang
berbudaya kuat biasanya dapat dilihat oleh orang luar sebagai memilih suatu
gaya tertentu. Dalam budaya organisasi yang kuat ini nilai-nilai yang dianut
bersama itu dikonstruksi ke dalam semacam pernyataan misi dan secara serius
mendorong para manajer untuk mengikutinya. Karena akar-akarnya sudah mendalam,
gaya dan nilai budaya yang kuat cenderung tidak banyak berubah walaupun ada
pergantian pimpinan.
Sejalan
dengan itu, Robbins (1990) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan budaya yang
kuat adalah budaya di mana nilai-nilai inti dipegang secara intensif dan dianut
bersama secara meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan
makin besar komitmen mereka pada nilai-nilai itu, maka makin kuat pula budaya
tersebut. Sebaliknya organisasi yang berbudaya lemah, nilai-nilai yang dianut
tidak begitu kuat sehingga jatidiri organisasi tidak begitu menonjol dan
kemungkinan besar nilai-nilai yang dianut pun berubah setiap pergantian
pimpinan atau sesuai dengan kebijakan pimpinan yang baru.
Jenis
budaya yang cocok secara strategik memiliki perspektif yang menegaskan tidak
ada resep umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya yang baik itu, hanya
apabila “cocok” dengan konteksnya. Konteks itu dapat berupa kondisi objektif
dari organisasinya, segmen usahanya yang dispesifikasi oleh strategi organisasi
atau strategi bisnisnya sendiri. Konsep kecocokan sangat bermanfaat khususnya
dalam menjelaskan perbedaanperbedaan kinerja jangka pendek dan menengah. Esensi
konsepnya mengatakan bahwa suatu budaya yang seragam tidak akan berfungsi. Oleh
karena itu, beberapa variasi dibutuhkan untuk mencocokan tuntutan-tuntutan
spesifik dari bisnis-bisnis yang berbeda itu.
Budaya
adaptif didasari pemikiran bahwa organisasi merupakan sistem terbuka dan
dinamis yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Untuk dapat
meraih sukses dalam lingkungan yang senantiasa berubah, organisasi harus
tanggap terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dapat membaca
kecenderungan-kecenderungan penting dan melakukan penyesuaian secara cepat.
Budaya organisasi adaptif memungkinkan organisasi mampu menghadapi setiap
perubahan yang terjadi tanpa harus berbenturan dengan perubahan itu sendiri.
Selanjutnya,
Luthans (1992) memaparkan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut:
·
Inisiatif
individu
·
Toleransi
terhadap risiko
·
Pengarahan
·
Integrasi
·
Dukungan
manajemen
·
Pengawasan
·
Identitas
·
Sistem
penghargaan
·
Toleransi
terhadap konflik
·
Pola
komunikasi.
Semua
karakteristik budaya organisasi tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya, dalam arti bahwa unsur-unsur tersebut mencerminkan budaya yang
berlaku dalam suatu jenis organisasi, baik yang berorientasi pada pelayanan
jasa maupun organisasi yang menghasilkan produk barang.
Robbins
(1990) mengemukakan 10 karakteristik budaya organisasi, yaitu:
·
Inisiatif
individu
·
Toleransi
terhadap risiko
·
Pengarahan
·
Integrasi
·
Dukungan
manajemen
·
Pengawasan
·
Identitas
·
Sistem
penghargaan
·
Toleransi
terhadap konflik
·
Pola
komunikasi
Inisiatif
individual adalah seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalam
perusahaan. Hal ini meliputi tanggung jawab, kebebasan dan independensi dari
masing-masing anggota organisasi, dalam artian seberapa besar seseorang diberi
wewenang dalam melaksanakan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus
dipikul sesuai dengan kewenangannya dan seberapa luas kebebasan mengambil
keputusan.
Toleransi
terhadap risiko, menggambarkan seberapa jauh sumber daya manusia didorong untuk
lebih agresif, inovatif dan mau menghadapi risiko dalam pekerjaannya.
Pengarahan, hal ini berkenaan dengan kejelasan sebuah organisasi dalam
menentukan objek dan harapan terhadap sumber daya manusia terhadap hasil
kerjanya. Harapan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk kuantitas, kualitas
dan waktu.
Integrasi
adalah seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama yang ditekankan dalam
melaksanakan tugas dari masing-masing unit di dalam suatu organisasi dengan
koordinasi yang baik. Dukungan manajemen, dalam hal ini seberapa jauh para
manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap
bawahannya dalam melaksanakan tugasnya.
Pengawasan,
meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk
melihat secara keseluruhan dari perilaku karyawan. Identitas, menggambarkan
pemahaman anggota organisasi yang loyal kepada organisasi secara penuh dan
seberapa jauh loyalitas karyawan tersebut terhadap organisasi.
Sistem
penghargaan pun akan dilihat dalam budaya organisasi, dalam arti pengalokasian
“reward” (kenaikan gaji, promosi) berdasarkan kriteria hasil kerja karyawan
yang telah ditentukan. Toleransi terhadap konflik, menggambarkan sejauhmana
usaha untuk mendorong karyawan agar bersikap kritis terhadap konflik yang
terjadi. Karakteristik yang terakhir adalah pola komunikasi, yang terbatas pada
hierarki formal dari setiap perusahaan.
3. Kreatifitas
Individu dan Team Proses Inovasi
Kreativitas
dengan inovasi itu berbeda. Kreativitas
merupakan pikiran untuk menciptakan sesuatu yang baru, sedangkan
inovasi adalah melakukan sesuatu yang baru. Hubungan keduanya
jelas. Inovasi merupakan aplikasi praktis dari kreativitas. Dengan kata lain, kreativitas bisa merupakan
variabel bebas, sedangkan inovasi adalah variabel tak bebas. Dalam praktek
bisnis sehari-hari, ada perencanaan yang meliputi strategi,
taktik, dan eksekusi. Dalam
pitching konsultansi atau agency,
sering terdengar keluhan bahwa secara konseptual apa yang disodorkan agency bagus, tetapi strategi itu
tak berdampak pada perusahaan
karena mandek di tingkat
eksekusi. Mengapa? Sebab,
strategi bisa ditentukan oleh seseorang, tetapi
eksekusinya harus melibatkan
banyak orang, mulai dari atasan
hingga bawahan. Di sinilah mulai ada gesekan antarkaryawan, beda
persepsi hingga ke sikap penentangan.
Itu
sebabnya, tak ada perusahaan yang mampu berinovasi secara konsisten tanpa
dukungan karyawan yang bisa
memenuhi tuntutan persaingan.
Hasil pengamatan kami menunjukkan, perusahaan-perusahaan inovator sangat memperhatikan masalah pelatihan
karyawan, pemberdayaan, dan juga sistem reward untuk meng-create daya
pegas inovasi. Benih-benih inovasi akan
tumbuh baik pada perusahaan-perusahaan yang selalu menstimulasi karyawan, dan mendorong
ke arah ide-ide bagus. Melalui program pelatihan, sistem reward, dan
komunikasi, perusahaan terus berusaha
untuk mendemokratisasikan inovasi.